Pagi. Kumandang adzan subuh dan suara ayam
berkokok telah terdengar, seolah-olah sedang berlomba untuk membangunkan
orang-orang. Pagi itu sekitar pukul 04.12WIB. Aku Diah Arum Sasi, teman-teman
ku biasa memanggilku Arum. Hari itu aku berada posisi yang aku berbeda. Tubuhku
dengan semangatnya siap untuk menjalani hari itu. Mataku yang masih sayu karena
kelelahan tak membuat semangat ku padam dan lenyap begitu saja. Suasana sejuk pagi
hari dengan angin sepoi-sepoi mengiringi pekarangan rumah ku. Tiba-tiba
terdengar suara sepeda motor dari arah utara.
“Aruuummmm!!!!”
Dari kejauhan tampak seseorang memanggilku dengan melambaikan tangannya. Aku
berhenti sejenak dari aktivitas ku. Aku mulai berjalan menghampiri suara itu
berasal. Ternyata itu Lisha, sahabat ku yang aku kenal sejak duduk dibangku
kelas 1 SMA lalu.
“Ada
apa sih? Pagi-pagi begini?” Tanya ku sambil mengikat rambut yang tadinya ku
gerai.
“Hari
ini kita kan mau travelling ke Solo. Kamu lupa?” Katanya sambil melepaskan helm
yang di kenakan saat itu.
“Ya
Tuhan… Iya aku lupa. Aduh aku siap-siap dulu deh, kamu tunggu di ruang keluarga
dulu” Ujarku saat itu
“Kok
bisa lupa sih? Padahal dua hari lalu kita habis membahas ini kan dirumah kamu?”
Timpalnya kembali
“Serius Lish aku lupa kalau hari ini kita mau travelling.” Jawab ku
sambil membereskan barang yang akan aku bawa.
Tak
lama kemudian telpon genggam yang aku letakkan di meja riasku berdering, dengan
sigap aku melihatnya. Ternyata itu dari Gilar, sahabatku. Sembari menyiapkan
barang bawaan yang akan aku bawa. Aku menerima telpon dari Gilar.
“Assalamu’alaikum. Gimana?” Tanya ku
“Eh
kamu dimana? Kita udah di KFC Sudirman ini. Buruan kesini, udah mau siang ntar
keburu panas ke stasiunnya” Celotehnya saat itu
“Eh
iya bawel. Ini bentar lagi juga berangkat. Mau mandi dulu, sebentar.” Timpal ku
“Buruannnn!!! Enggak pakai lama!! Enggak mau tau setengah jam lagi kamu
harus udah ada disini!!” Ujarnya
“Kalau kamu ngomong mulu kapan aku mandinya?” Aku mulai geram pada saat
itu
“Heemmmm.. Wassalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam” Kata ku untuk mengakhiri
obrolan via telpon
Setelah selesai menyiapkan segala keperluan , aku bergegas menuju ke KFC
Sudirman. Motor yang aku dan Lisha kendarai melaju begitu pesat. Angin pagi
masih sangat terasa sekali, merasuk kedalam tubuh ku. Sesampainya disana,
seperti biasa. Tidak ada yang berubah dari tempat itu. Aroma kopi dan greentea
latte yang khas mewarnai semua sudut ruangan. Aroma dark coklat juga sangat
terasa saat aku mulai mendekati meja tempat Gilar dan Aziz menunggu.
“Jam
berapa ini?” Tanya Gilar sambil menengok kearah jam diding yang tepat berasa
diatas kaca.
“Maaf tadi aku lupa seriusan deh.” Kata ku
“Tau nih si Arum, aku nyamperin kerumahnya eh belum apa-apa. Nyebelin
kan” Timpal Lisha yang terlihat geram kepada ku
“Makanya, jadi orang jangan pelupa. Masih 16tahun kok pelupa” Ujar Aziz
sambil menyeruput dark coklat yang masih panas itu. Aromanya sangat menusuk
hidung.
“Laper
nih. Breakfast yang enak disini apaan sih?” Tanya Lisha
“Semua enak, apalagi kalau ada yang mau
bayarin alias gratis” Canda Gilar saat itu
“Banyak banyol. Nenek –nenek lagi nyebrang juga tau kali” Kata Aziz
Entah
kenapa hari itu aku sangat bersemangat. Aku memiliki semangat seperti kuda troya
yang berada dipacuan kuda. Suasana di restaurant pagi itu tidak begitu ramai.
Waktu menunjukan pukul 06.00WIB. Biasanya, para pengunjung yang kebanyakan anak
muda, akan memadati tempat tongkrongan macam itu selepas berolahraga di daerah
UGM. Sambil menunggu matahari meninggi atau sekedar bertemu dengan teman dan
kerabat dekat. Aku dan Lisha menghampiri meja kasir untuk memesan makanan yang
akan kami jadikan bekal untuk travelling nanti. Aku dan Lisha mencari posisi
yang kira-kira tidak banyak antriannya oleh pengunjung.
“Selamat pagi kak. Mau pesan apa?” Tanya pegawai warung cepat saji itu
“Mampus. Pagi-pagi udah dikasih selamat pagi” Bisik Lisha kepada ku
dengan tawa yang sedikit ditahan.
“Berisik deh” Timpal ku
“ Emmm
aku mau hot tea, terus mau riser. Tapi untuk risernya take away aja ya” Kata
Lisha
“Aku
juga mau hot tea dong, sama pom-pomnya satu ya mbak. Take away juga untuk
pom-pomnya” Timpal ku.
“Bisa saya ulangi? Hot tea dua, minum sini. Pom-pom satu, riser satu,
take away ya kak. Sudah benar pesanannya?”
“Iya
mbak” Kata ku sambil menyerahkan beberapa uang yang aku letakan diatas meja
kasir itu.
“Mohon ditunggu. Nanti pesanannya segera kami antar” Katanya, sambil
memberikan senyum yang lebar kepada aku dan Lisha
Aku
dan Lisha kembali ke tempat dimana Gilar dan Aziz menunggu. Terlihat Gilar
sedang sibuk memaikan ponselnya. Tak lama kemudian pesananku dan Lisha diantar.
Tanpa menunggu, aku langsung menyeruput segelas hot tea tanpa gula itu. Awalnya
masih terasa panas di lidah. Tapi itu terasa nikmat, aroma hot tea di
restaurant cepat saji itu memang begitu khas. Aku meletaklan kembali secangkir
hot tea itu ke meja. Aku segera memulai obrolan kembali.
“Eh
gimana nih? Mau berangkat jam berapa kita? Ntar keburu siang” Tanya ku
“Disini
sih jadwal kereta paling awal jam 08.30WIB. Dari stasiun lempuyangan,
perhentian akhir di stasiun balapan, gimana? Mau ambil jadwal yang paling
awal?” Tanya Gilar, sambil menunjukan jadwal keberangkatan kereta api pagi itu.
“Kalau
aku sih mending berangkat paling awal biar kita bisa lama disana. Gimana?”
Tanya Lisha sambil menatap ku
“Kalau
Raisa sih yes, kalau mas Anang gimana?” Canda ku pagi itu
“Aku
sih yes” Timpal Aziz, bergaya mengikuti Anang Hermansyah
“Bercanda
aja mulu, sampai ladang gandum di hujani coklat lalu jadi lah coco crunch” Geram Gilar saat itu
“Ih
gemes deh, berantem yuk di rawa-rawa” Timpal Lisha membalas candaan dari Gilar
“Eh
buruan kampret. Mau yang jam berapa” Tanya Gilar mulai geram
“Nih ya aku kasih tau, kemarin tetangga aku
ada yang stroke gara-gara pas temennya bercanda dia malah marah-marah sendiri”
Bisik ku kepada Gilar pagi itu
“Bodo
amat! Jam berapa nih?” Kata Gilar
“Yaudah yuk sekarang aja kita berangkat ke
stasiun” Kata Aziz
“Yuk cus” Kata Lisha sambil menenteng tasnya
Seperti
biasa, aku berboncengan dengan Lisha, dan Gilar dengan Aziz. Lisha mengendarai
motornya begitu pesat mengingat pagi itu jalan raya masih sepi di lalui
kendaraan bermotor. Beberapa saat kemudian sampailah di stasiun lempuyangan,
yang jaraknya tak begitu jauh dari tempat kami berangkat tadi. Sesampainya di
stasiun aku dan Gilar langsung menuju loket, sembari menunggu Lisha dan Aziz
memarkir motornya masing-masing. Gilar nampak terlihat serius melihat papan
yang tergantung diatas loket. Papan itu adalah jadwal-jadwal keberangkatan
kereta api pada saat itu.
“Ehh kita jadi mau naik kereta api apa?
Jangan yang non AC sumpek” Kata Lisha sambil menepuk bahu ku dari sisi kanan
“Tau tuh tanya Gilar aja deh” Jawab ku sibuk
memainkan telpon genggam
“Gimana kalau kita buat tantangan? Biar
travelling kita anti mainstream.” Tanya Gilar dengan senyum sinisnya
“Wahh mulai ini anak. Enggak!!! Pasti kamu
bikin ide gila lagi” Jawab ku dengan cetus
“Ah enggak asik. Kita harus buat perjanjian
selama travelling. Sekarang kalian pada bawa duit berapa?” Tanya gilar masih
dengan senyum sinisnya
“Ih mau ngapain nanya-nanya?” Tanya ku dengan
penasaran
“Aku bawa lima ratus ribu” Jawab Lisha tanpa
memikirkan panjang apa maksud Gilar
“Aku Cuma bawa tiga ratus ribu” Timpal Aziz
sambil menghitung lembar demi lembar uang yang tertata rapi di dalam dompet
“Aku
bawa enam ratus ribu, kamu Rum? Tinggal kamu yang belum jawab” Tanya Gilar
sambil menatap ku seolah ingin meyakinkan ku untuk menjawab pertanyaan bodohnya
“Aku
ada empat ratus lima puluh, kenapa?”Tanya ku kembali dengan sinis
“Gimana
kalau kita bikin tantangan gitu. Yang pertama, kita cuma boleh bawa uang dua
ratus lima puluh, enggak ada yang boleh transaksi pakai atm. Yang kedua, di
Solo nanti kita enggak ada yang boleh ngomong alay sedikit pun. Yang ketiga,
kita enggak boleh naik kendaraan yang ber AC kecuali kereta yang mau kita
naikin. Yang keempat, kita harus menyapa setiap tukang becak yang becaknya
warna biru tua. Deal?” Gilar dengan mudahnya member beberapa peraturan.
“Dua
ratus lima puluh tanpa atm mana cukup? Kita pulang pergi udah berapa sendiri,
belum nanti makan.” Celoteh Lisha nampak kesal dan mengertukan keningnya
“Anjir
ini mau travelling atau mau minang anak orang banyak amat peraturannya.” Timpal
Aziz juga nampak kesal kepada Gilar
“Tunggu-tunggu. Menurut ku itu seru juga. Oke
aku setuju! Uangnya kita kumpulin ke Gilar. Tapi Gilar enggak boleh pakai
duitnya. Gimana? Ziz, Lish ayo lah!” Bujuk ku kepada Aziz dan Lisha
“Oke deh” Jawab Lisha dan Aziz dengan serentak
Setelah menyetujui peraturan yang Gilar buat.
Aku, Gilar, Lisha, dan Aziz bergegas untuk memesan tiket kereta. Mungkin,
perjalanan itu menjadi perjalanan yang mengesankan, dimana aku pergi keluar
kota tidak bersama kedua orang tua ku, melainkan dengan sahabat-sahabat ku. Aku
bahagia hari itu, bahkan aku merasa seperti bunga yang kembali mekar. Aku
dan sahabat-sahabat ku mulai mengantri
untuk memasuki stasiun kereta. Kereta kami akan tiba lima belas menit lagi.
“Kalian tau baru kali ini aku mempunyai
sahabat seperti kalian, aku bahagia” Lisha menggunakan bahasa wajah untuk
mengungkapkan apa yang dirasakan saat itu
“Hari
ini adalah milik kita! Letakan lah sejenak beban yang kita pikul selama ini,
kita akan tetap terus seperti ini. Kita akan tetap terus bersahabat, bagaimana
pun nanti, apapun yang akan terjadi. Aku mohon jangan pernah melepaskan simpul
yang mengikat diantara kita” Gilar membalikan badannya memasang senyum
terbaiknya untuk sahabat-sahabatnya yang dicintai
“Fix!! Aku bahagia mempunyai kalian, kalian
bukan hanya sahabat, kalian sudah seperti saudara, Sudah seperti kakak-kakak
aku” Aku pun membalas dengan senyuman terbaik ku saat itu, aku sedikit terharu.
Aku terharu dengan kata-kata yang Gilar ungkapkan. Gilar, biasa dikenal oleh
orang mempunyai pribadi sangat keras, dan sulit untuk mengungkapkan kata
seromantis itu. Tapi hari itu Gilar menjadi pribadi yang sedikit berbeda.
Aziz hanya bisa menatap lurus kedepan ke
gerbong-gerbong kereta yang sudah tak beroprasi itu, Aziz tak mampu
berkata-kata. Aziz terkejut tiba-tiba saja Gilar bisa menjadi sesosok yang
benar-benar pantas untuk di kagumi. Jika boleh aku menganalisa hatinya,
sejujurnya Aziz bahagia saat itu. Bagi Aziz, Gilar adalah sosok sahabat yang
menyenangkan. Dekat dengan Gilar bisa membuat Aziz tertawa lepas, begitu juga
dengan aku dan Lisha. Tak lama kemudian kereta menuju solo balapan tiba di
stasiun lempuyangan. Kereta pagi itu sedikit terlambat sepuluh menit dari
jadwal yang sebenarnya. Aku mengambil posisi paling depan untuk memasuki kereta
yang sebentar lagi berhenti tempat dimana aku menunggu. Kemudian di ikuti oleh
Lisha, Gilar, dan Aziz. Setelah memasuki kereta Lisha berjalan mendahului ku,
Lisha mulai memandang sekelilingnya, Lisha sibuk mencari seat tempat duduk yang
sudah terterai dalam tiket. Tempat itu makin lama makin padat karena tidak
hanya Aku, Lisha, Gilar dan Aziz yang akan menaiki kereta itu. Lisha menarik
tangan kiri ku dengan kuat.
“Itu disana, disini ditulis nomor 1A, 2A, 3A,
dan 4A” Kata Lisha sambil menunjuk empat bangku yang ada di sudut gerbong nomor
satu tersebut dengan tangan kanannya,
“Coba liat?” Tanya Gilar, mengabil tiket yang
sebelumnya ada di tangan Lisha
“Oh iya bener,” Timpalnya kembali
“Aku deket jendela!” Seru ku saat itu, sambil berjalan cepat agar lebih
dulu sampai dibanding yang lainnya
“Eh
aku juga!” Ujar Lisha dengan wajah tampak berseri dan sepertinya Lisha memiliki
semangat yang sudah jarang aku lihat akhir-akhir ini.
Gilar dan Aziz kemudian menyusul ku dan Lisha. Gilar dan Aziz mulai
menyandarkan punggungnya ke kursi berwarna coklat muda itu. Aziz nampak melepas
jaket yang dikenakan. Aku dan Lisha nampak sibuk melihat kearah luar jendela.
Banyak hamparan sawah, seperti membentuk sebuah kesatuan, lukisan alam yang
benar-benar indah dari sang maha pencipta. Aku banyak menemui rumah-rumah
penduduk, banyak anak kecil yang bermain dipinggir rel kereta api tanpa
menghiraukan bahaya yang sedang mengintai.
“Coba deh lihat pohon-pohon itu” Kata ku
kepada sahabat-sahabat ku
“Indah” Timpal ku lagi
“Itu sudah menjadi takdir alam, lukisan yang
terindah” Jawab Aziz dengan tampang datarnya
“Iya sama seperti hidup ini yang berisi
rangkaian takdir yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Seperti
pohon yang kita lihat tadi, yang memiliki banyak daun dan ranting. Kalian tau?
Bahwa antara satu ranting dengan ranting yang lainnya saling berhubungan. Ada
yang bercabang kearah kanan, ada juga yang kearah kiri, ada yang tinggi
menjulang, dan… ada juga yang tertunduk kebawah. Setiap ranting memiliki
dedaunan yang tumbuh sendiri-sendiri, tapi secara otomatis membuat rangkaian
yang menakjubkan” Jelas ku sambil terus melihat ke luar jendela, sambil tersenyum
kagum
“Ya, itu artinya setiap manusia akan terkait dengan takdir manusia yang
lain, begitu juga seperti persahabatan kita yang saling terkait satu sama
lain.” Ungkap Gilar sambil menyandarkan kepalanya di bahu ku
“Lisha terharu!!!” ujar Lisha dengan sedikit senyum di bibir kecilnya
“Sama halnya seperti kursi yang kalian duduki saat ini, kursi ini juga
memiliki kesatuan, memiliki empat tiang penyangga, coba kalian bayangkan jika
kursi ini hanya memiliki tiga penyangga. Jangan kan untuk menopang beban
diatasnya, sekedar untuk berdiri kokoh aja aku rasa tidak mampu” Jelas Aziz
dengan tatapan tajam, seolah ada banyak kata yang ingin di ungkapkannya
“Iya, kita itu berempat! Kalau ada satu yang hilang kita enggak akan
bisa menopang beban hidup yang sedang kita jalani. Kita adalah satu kesatuan
layaknya pohon, dan kursi.” Jelas ku sambil menatap satu persatu sahabat ku
Tak terasa bahwa kereta sebentar lagi akan
memasuki perhentian terakhir yaitu di stasiun balapan tepat berada di kota
Solo. Semua penumpang tampak bergegas untuk membereskan semua barang-barangnya.
Kereta pun berhenti, sedikit terlambat memang. Tetapi, tidak apa-apa si roda
besi berhasil itu tiba dengan mulus di bangunan tua yang sudah lama berdiri
kokoh yang di beri nama stasiun
“Gilar,
ayoo ke Grand Mall!!!” Ujar Lisha nampak menarik tangan Gilar
“Ohhh jadi Gilar doang nih yang di ajak?” Tanya ku sambil melipat kedua
tangan ku di dada
“Ihhh
enggak gitu.. Maksud aku kita semua” Jawab Lisha lalu menarik tangan kanan ku
“Bentar kenapa cong, mau minum dulu” Ungkap Gilar sambil mengeluarkan
sebotol air mineral dari tasnya, lalu meneguknya sedikit demi sedikit
“Kalian tau air ini seperti persahabatan
kita,” Timpal Gilar kembali
“Lho kok bisa kenapa? Air putih cair, ringan, tak berasa dan tak
berwarna. Hampa!” Ujar Aziz kepada Gilar, lalu mengambil botol air mineral yang
ada di tangan Gilar
“Benar kata mu, air ini memang tak
berasa. Tapi, kamu tidak pernah bosan kan buat meminumnya? Air yang kamu minum
saat kamu kepanasan, saat kamu kehausan, bahkan saat kamu kedinginan kamu masih
membutuhkan air kan? Tak berasa memang. Tapi, jika kamu menginginkan air itu
berasa manis kamu tinggal menambahkan sedikit gula, jika kamu menginginkan
rasanya asin kamu tinggal menambahkan garam di dalamnya. Air yang membantu mu
untuk minum obat, air juga yang membantu mu tetap hidup. Seperti itu lah persahabatan
kita” Jelas Gilar, sambil mencari becak yang ada di sekitar stasiun untuk
menuju ke Grand Mall yang jaraknya tak begitu jauh dari stasiun
“Eh
itu ada becak! Warna biru pula, sesuai perjanjian awal kita harus menyapa!”
Ujar Lisha sambil menunjuk kearah utara
“Oke! Kita kesana sekarang!” Ujar Gilar sambil mengenakan kacamata hitam
yang tadinya Gilar letakkan diatas kepalanya
“Berasa turis kali pak. Ha Ha Ha” Canda ku kepada Gilar
“Langit Solo panas ya, sama kaya pas aku lihat dia boncengan sama pacar
barunya. Bawaannya pengen beli kipas angin” Canda Gilar, sambil melepas jaket
yang tadinya di kenakan
“Anjir deh, hari gini masih galau mikirin cinta. Kelaut aja sana” Balas
ku, lalu berjalan mendahului yang lainnya
“Monggo pak, Pak Grand Mall dari sini berapa
ya?” Tanya Aziz kepada tukang becak
“Monggo bapak” Sapa ku dan Lisha kala itu
“Lima belas ribu mas, becak kalih nggeh?”
Tanya tukang becak kepada Aziz kala itu, Aziz tampak berunding kecil dengan
Gilar, sedangkan aku dan Lisha sibuk memainkan handphone masing-masing
“Nggeh pak, Rum kamu sama aku. Takutnya kalau sama Aziz bapaknya nggak
kuat” Kata Gilar, lalu menaiki becak mendahului ku, aku pun hanya mengangguk
dan duduk di sebelah Gilar. Lisha dan Aziz menaiki becak yang berbeda dengan
aku dan Gilar.
Becak yang aku naiki dengan Gilar pun mulai
melaju, di susul becak yang di naiki oleh Aziz dan Lisha. Langit solo siang itu
begitu terik, matahari yang mulai berada diatas kepala tak menyurutkan semangat
ku. Jalan yang di lewati pun nampak mulai ramai mengingat waktu itu memasuki
jam makan siang. Solo, sebuah kota kecil yang akan menjadi kota kenangan
bersama sahabat-sahabat terhebat ku, disini akan banyak menyimpan cerita di
setiap sudutnya. Aku yakin, aku akan kembali lagi ke kota kenangan itu bersama sahabat-sahabat
ku kelak. Nanti, setelah kesuksesan ada di genggaman tangan. Setelah sampai,
aku dan sahabat-sahabat ku bergegas masuk ke pusat perbelanjaan yang sangat
terkenal di kota itu. Saat memasuki ruangan, terasa sekali aroma khas pusat
perbelanjaan, tidak ada yang berbeda dengan pusat perbelanjaan lainnya, banyak
ku temui ornamen yang tersusun rapi di dinding-dinding, seolah memanjakan
siapapun yang melihatnya. Aroma coffee dari toko kue yang khas menyelimuti
siang itu.
“Aku
laper!” Ujar Aziz sambil melingkarkan tangannya ke bahu Gilar
“Ah
kamu ma makan mulu yang di pikirin” Canda Gilar lalu melepaskan rangkulan Aziz
“Mau
makan apa?” Tanya ku, aku menoleh kearah Aziz sejenak, lantas kembali menatap
kesibukan orang-orang di depan ku.
“Hey, let me see. It’s looks nice!” Tiba-tiba Lisha menarik ku dan
menunjukan sesuatu yang tergantung rapi di toko kemeja itu
“Kemeja? Yang mana?” Tanya ku
“Yaps, Pink! My favorite colour.” Jawab Lisha dengan nada manja
“Do
you like this?” Tanya ku kembali, sambil menatap Lisha
“Iyaaaa… Ini lucuuu!!” Ujar Lisha, dengan terus memandangi kemeja
berwarna pink dengan sedikit hiasan bunga-bunga di daerah saku kanan atas.
“Samaaaa!!!” Timpal ku lagi dengan antusias
“Lisha, Arum, tujuan kita disini bukan mau belanja!” Ujar Gilar ketus,
lalu menarik tangan ku dan Lisha untuk segera meninggalkan toko kemeja itu
“Yahhhhh Gilar” Jawab ku dengan nada lirih, dengan sedikit mengertukan
otot di kening
Aku
dan teman-teman ku menuju lantai tiga gedung ini, dimana banyak orang
menjajakan berbagai macam makanan khas nusantara. Aku dan teman-teman ku menuju
ke tangga berjalan yang ada di sudut pusat keramaian itu. Sesampainya ditempat
yang sering di sebut foodcurt itu, aku dan teman-teman lalu memesan sejumlah
makanan untuk dijadikan santap siang. Aku dan Lisha memilih nasi goreng seafood,
sudah dari beberapa hari lalu aku menginginkannya. Sedangkan Gilar dan Aziz memesan
nasi lemak lengkap dengan potongan telur dadar yang diiris tipis-titpis, tak
lupa taburan bawa goreng. Aku dan teman-teman ku duduk di meja dekat dengan
tangga berjalan. Aku menarik napas panjang. Menikmati kesibukan yang terhampar
dibawah sana, dari lantai tiga. Meski jam makan siang hampir usai, sepertinya
pusat perbelanjaan ini tidak peduli. Lalu lalang dan aktivitas masih saja
terlihat ketara. Semua bergerak. Aku melahap santap siang ku, sambil menatap
nanar ada di handphone ku.
“Habis ini kita ke kraton, lalu ke pasar klewer kan?” Tanya Lisha,
menatap ku
“Iya.”
Jawab ku, sambil meminum jus strawberry yang ada di hadapan ku
“Yaudah, buruan habisin makanannya” Jelas Gilar sambil memaikan tombol
buttom yang ada di kamera SLR miliknya, Gilar nampak mengatur sedemikian rupa,
sesekali Gilar mengarahkan lensanya kepada orang-orang yang lalu lalang di
bawah sana.
“Aku
udah selesai kok” Jawab ku kembali, dengan sedikit menyemprotkan handsanitaizer
ke telapak tangan ku
“Aku
juga” Tambah Lisha
“Bentar-bentar” Kata Gilar, terlihat merapikan kamera dan lensa mono
yang dibawa dari rumah.
“Habis ini kita ke kraton, ke pasar klewer, terus ke…..” Jelas Lisha,
dengan memainkan jarinya.
“Lalu,
makan terus pulang” Timpal Aziz dengan sedikit senyum di bibirnya
Aku,
Lisha, Gilar, dan Aziz mulai menuruni escalator yang ada di pusat perbelanjaan
itu. Terlihat begitu jelas lalu lalang dibawah sana, seolah tak pernah ada
matinya. Orang-orang dibawah sana sibuk dengan perannya masing-masing. Aku,
Lisha, Gilar, dan Aziz mulai beranjak keluar dari pusat keramaian itu. Aku dan
teman-teman ku menaiki becak untuk menuju kraton Solo, letaknya tak begitu
jauh. Aku menyenderkan tubuh pada punggung
kursi. Mata ku seolah tidak pernah bosan untuk memperhatikan setiap jalan yang
di lalui. Aku membiarkan semilir angin membasuh wajah dan tubuh ku. Menikmati
belaian lembut ditemani dengan lagu-lagu jazz yang aku dengarkan melalui ponsel
ku. I miss this part.
Lalu
Gilar mengangkat kameranya, menekan menu buttoms. Mengatur agar semua gambar
yang akan diambil nanti tanpa warna. Hanya hitam dan putih. Gilar mengarahkan
lensanya ke atas, tepat pada awan kecil yang berbentuk bunga yang bergerak
mengikuti arah angin, beriringan menemani semburat senja yang aku dan Gilar
nikmati saat itu.
Gilar
mengalihkan lensanya kearah jantung kota. Becak-becak yang berjejeran seolah
semakin memperindah kota itu. Gedung-gedung tua yang sudah terbengkalai
menyelimuti kota. Kendaraan-kendaraan yang lalu lalang saat itu. Semua. Semua
tak luput dari jepretan Gilar. Aku menyukai hal ini, aku merasa saat itu aku
telah menemukan dunia ku sendiri. Dunia dari sudut pandang ku
sendiri.Sesampainya di kraton Solo, aku dan teman-teman bergegas untuk
melihat-lihat sekitar. Nampak bangunan-bangunan kuno yang masih dirawat. Aku
merasa senang saat itu. Aku merasa, aku sedang menari diatas awan. Ditemani
senja, aku dan teman-teman ku menyusuri jalan kota itu dengan penuh tawa. Mata
lensa seolah tak pernah berhenti mengambil objek di depannya.
“Aku
mau di fotoin disini dong, sama Arum” Pinta Lisha kepada Gilar saat itu, Lisha
tampak merangkul ku.
“Aku
juga dong Lar!” Ujar Aziz sambil merapikan rambutnya yang tadinya berantakan
“Yuk
kita foto bareng-bareng aja” Ajak Gilar, mengarahkan mata lensanya ke wajahnya
yang nampak berseri saat itu.
“Bangunan-bangunan ini kokoh, masih sangat terawat” Kata ku sambil
memandangi tembok benteng yang berdiri kokoh di pinggir jalan menuju arah pasar klewer itu
“Iya
lah, emang hati kamu. Rapuh dan tak terawat” Canda Gilar kepada ku
“Ihhhhh… Apaan sih Gilaaaaarrrrr!!!!” Sontak aku merasa geram dengan
ejekan yang dilontarkan Gilar kepada ku saat itu
Langit kota Solo telah berubah menjadi
jingga. Matahari pun mulai tenggelam. Aku dan teman-teman mulai bergegas
meninggalkan tempat itu, karena mengingat hari sudah mulai gelap. Aku dan
teman-teman melanjutkan langkah demi langkah menyusuri langit kota Solo di kala
gelap. Aku dan-teman-teman bergegas mencari warung makan. Kali itu aku dan
teman-teman menuju sebuah warung kaki lima yang menjual nasi liwet, makanan
khas Solo selain serabi yang sudah terkenal itu. Bahu jalan yang tadinya masih
sepi kini sudah mulai terisi dengan tenda-tenda kecil yang berdiri tepat di
bahu jalan. Aroma yang khas menyelimuti saat itu, mengingat perut yang sudah
mulai kroncongan
“Makan
sini aja yuk” Ajak ku, menunjuk kearah tenda berwarna biru itu
“Yaudah
yuk, lesehan gitu kayanya asik” Ujar Lisha saat itu dengan wajah yang tak
henti-hentinya menebar senyum
“Gila
ini romantis banget, makan dipinggir jalan di temani alunan-alunan musik dari
pengamen jalanan” Jelas Aziz
Aku
ingin tersenyum, menertawakan kolerasi lucu yang Aziz katakan, saat ku lihat
matanya menatap ku seolah mengajak ku tersenyum. Setengah mati aku menahannya.
Jadi hanya mengangguk-angguk saja yang bisa ku lakukan saat menghargainya.
Lisha pun memulai dengan mengambil sebuah piring dari bambu yang di dasari daun
pisang itu. Aku dan teman-teman ku memilih duduk di sebelah tenda dengan
menggelar tikar. Aku menyukai tempat ini. Sebuah warung kaki lima yang tidak
terlalu besar, terletak di jalan Slamet Riyadi. Aku menghabiskan santap malam dengan
lahap, begitu juga teman-teman ku. Sang musisi jalanan tak henti-hentinya
memetik gitar yang sudah cukup usang itu. Alunannya begitu indah, notasi-notasi
yang di main kan juga begitu syahdu di dengar, dentungan-dentungan cajon
menambah suasana menjadi lebih syahdu malam itu.
“Kalian
tau nggak aku bahagia banget hari ini” Jelas Lisha
“Bahagia
kenapa?” Tanya ku, sambil sesekali melihat nanar di handphone ku
“Banyak”
Timpalnya kembali
“Kalian
tau nggak kenapa aku buat perjanjian di awal?” Tanya Gilar
“Kenapa?” Tanya ku kembali dengan sedikit mengerutkan alis ku
“Yang
pertama, kita nggak boleh bawa uang lebih dari dua ratus lima puluh ribu,
karena aku pengen kita enggak boros disini. Yang kedua kita enggak boleh
ngomong alay, kenapa? Karena dimana pun kita berada kita harus tetap menjaga
etika ketika berbicara. Yang ketiga, enggak boleh naik kendaraan ber-AC, tau
enggak kenapa?” Kata Gilar, sambil menyeruput teh hangat yang ada di depannya
“Karena
kita harus dituntut menjadi orang yang low profile dalam arti sederhana?”
Timpal ku
“Yap
betul! Dan yang keempat, kita harus menyapa setiap tukang becak, yang becaknya
berwarna biru, tau nggak kenapa?” Tanya Gilar kembali, aku hanya menggelengkan
kepala
“Sebenernya enggak harus becak berwarna biru,
kalau bisa semuanya. Biar kita tau sopan santun, kita disini pelancong, dan ini
masih di jawa dimana penduduknya di kenal ramah-ramah. Bukannya sesame manusia
kita harus saling bertegur sapa?” Timpal Gilar kembali
“Subhanallah
Gilar, ternyata si playboy satu ini kali ini bener-bener udah waras otaknya”
Canda Aziz, sambil menatap Gilar dengan sedikit senyum karena menahan tawa
“Gila
aku enggak kepikiran sampai situ” Kata Lisha saat itu
“Iya karena
yang ada di otak kamu cuma pacaran!!!” Ujar aku dan Aziz dengan serentak
“Ihhhh
apa coba!! Enggak tau!” Lisha nampak geram sehingga mencubit lengan kanan Aziz
“Mas-mas, request lagunya Sheila on seven dong yang sahabat sejati versi
akustik” Gilar nampak melambaikan tangannya kepada musisi jalanan saat itu.
Sang musisi jalanan lantas mengangguk pertanda akan mengabulkan permintaan dari
Gilar. Dan Gilar bergegas berdiri untuk ikut bernyanyi.
“Sahabat sejati ku hilangkan dari ingatan mu
Di hari kita saling berbagi
Dengan kotak sejuta mimpi aku datang
menghapiri mu, tuk perlihatkan semua harta ku
Kita selalu berpendapat, kita ini yang
terhebat
Kesombongan di masa muda yang indah
Aku rasa kau pun raja, aku hitam kau
pun hitam
Arti teman lebih dari sekedar materi”
Gilar mulai memperlihatkan kemampuannya dalam bernyanyi. Aku, Aziz dan Lisha
melanjutkan di reff dengan duduk di bahu jalan.
“Pegang pundak ku jangan pernah lepaskan,
bila ku mulai lelah, lelah dan tak bersinar.
Remas sayap ku jangan pernah
lepaskan, bila ku ingin terbang,
terbang meninggal kan mu
Aku
selalu membangga kan mu kau pun selalu menyanjung ku
Aku dan
kamu darah abadi…
Demi bermain bersama, kita luangkan
segalanya
Tuk merdeka kita, kita merdeka”
Lanjut ku, Lisha, dan Aziz dengan wajah penuh senyuman.
Waktu
sudah menunjukan pukul 18.30WIB, waktunya aku dan tema-teman ku kembali ke
stasiun untuk pulang ke Jogja. Sesampainya di stasiun, tawa tak henti-hentinya
mengalir dari aku dan teman-teman ku. Seperti biasa, aku memilih duduk di dekat
jendela, tapi kali itu aku duduk bersama Lisha. Aku nampak menghela napas
panjang, dan mulai menyenderkan kepala ku ke bahu Lisha. Aku melihat Aziz dan
Gilar nampak kelelahan, tapi aku masih bisa melihat kebahagiaan di raut wajah
Gilar dan Aziz. Tak lama kemudia Gilar nampak tertidur pulas, dengan posisi
duduk, tangannya memegang erat tiket kereta api kala itu. Aku masih sibuk
dengan novel di genggaman ku, sedangkan Lisha sibuk memainkan handphonenya.
“Kok
kamu suka banget sih baca buku?” Tanya Aziz, dengan mata yang sedikit sayu
“Buku
kan jendela dunia” Jawab ku dengan melirik kearah Aziz
“Ini
itu udah malem, enggak baik jendela di buka malem-malem gini takut nyamuk pada
masuk” Canda Aziz
“Itu
beda woy!!” Ujar ku dengan nada sedikit keras
“Santai
aja kali enggak usah teriak gitu ah” Kata Lisha melirik kea rah ku
“Kalian
tau, aku seneng banget” Kata ku, sambil menutup novel yang berjudul sempurna
karya dari Nonier itu
“Aku
juga, aku bangga memiliki sahabat yang hebat. Sahabat yang banyak mengajarkan
hal. Sahabat yang mampu menemani ku saat aku sedang gusar. Sahabat yang
benar-benar aku dambakan sejak dulu” Jelas Lisha dengan nada lirih, karena
takut mengganggu tidur Gilar
“Aku
juga” Tambah Aziz
Setelah
beberapa saat kereta berhenti di stasiun lempuyangan. Aku membangunkan Gilar
dengan sangat hati-hati. Gilar mulai membuka matanya dan sedikit menguap.
Nampak sekali kelelahan di raut wajah Gilar. Aku dan teman-teman ku mulai
keluar dari gerbong. Aku dan teman-teman ku menuju tempat parkir.
“Eh
makasih ya. Kalian memang sahabat terindah ku” Kata Gilar untuk menutup
pertemuan hari itu
“Sama-sama, lain kali kita travelling lagi kan?” Tanya Lisha
“Iya
pasti! Duluan ya hati-hati di jalan” Kata Aziz dan Gilar sambil melambaikan
tanganya
Aku
tidak bisa berkata-kata. Aku hanya bisa tersenyum bahagia. Terkadang, untuk
menggambarkan sebuah kebahagiaan tidak perlu dengan kata-kata cukup dengan
tersenyum, kebahagiaan bisa saja menjadi bijak. Sejak itu, aku berpikir bahwa
persahabatan tak selamanya bisa dinilai dengan sebuah materi. Tak selamanya
bisa dinilai dengan tampan atau tidaknya sahabat yang kita miliki. Saat itu aku
juga berpikir, bukan hanya menyukai seseorang yang menggunakan cinta,
persahabatan pun juga menggunakan cinta untuk mempersatukan antara belahan hati
satu dan yang lainnya. Aku bahagia Tuhan. Aku beruntung memiliki sahabat yang
bisa mengajarkan aku banyak hal, hal-hal konyol yang belum pernah aku lakukan
sebelumnya, hal-hal yang diluar pikiran ku sebelumnya. Ini hanya sebuah kisah
klasik, kisah ku dengan sahabat-sahabat ku.
0 komentar:
Posting Komentar