Senin, 24 November 2014

Contoh Cerita Pendek Persahabatan (Cerita di Langit Solo)



       Pagi. Kumandang adzan subuh dan suara ayam berkokok telah terdengar, seolah-olah sedang berlomba untuk membangunkan orang-orang. Pagi itu sekitar pukul 04.12WIB. Aku Diah Arum Sasi, teman-teman ku biasa memanggilku Arum. Hari itu aku berada posisi yang aku berbeda. Tubuhku dengan semangatnya siap untuk menjalani hari itu. Mataku yang masih sayu karena kelelahan tak membuat semangat ku padam dan lenyap begitu saja. Suasana sejuk pagi hari dengan angin sepoi-sepoi mengiringi pekarangan rumah ku. Tiba-tiba terdengar suara sepeda motor dari arah utara.
       “Aruuummmm!!!!” Dari kejauhan tampak seseorang memanggilku dengan melambaikan tangannya. Aku berhenti sejenak dari aktivitas ku. Aku mulai berjalan menghampiri suara itu berasal. Ternyata itu Lisha, sahabat ku yang aku kenal sejak duduk dibangku kelas 1 SMA lalu.
       “Ada apa sih? Pagi-pagi begini?” Tanya ku sambil mengikat rambut yang tadinya ku gerai.
       “Hari ini kita kan mau travelling ke Solo. Kamu lupa?” Katanya sambil melepaskan helm yang di kenakan saat itu.
       “Ya Tuhan… Iya aku lupa. Aduh aku siap-siap dulu deh, kamu tunggu di ruang keluarga dulu” Ujarku saat itu
        “Kok bisa lupa sih? Padahal dua hari lalu kita habis membahas ini kan dirumah kamu?” Timpalnya kembali
        “Serius Lish aku lupa kalau hari ini kita mau travelling.” Jawab ku sambil membereskan barang yang akan aku bawa.
       Tak lama kemudian telpon genggam yang aku letakkan di meja riasku berdering, dengan sigap aku melihatnya. Ternyata itu dari Gilar, sahabatku. Sembari menyiapkan barang bawaan yang akan aku bawa. Aku menerima telpon dari Gilar.
       “Assalamu’alaikum. Gimana?” Tanya ku
       “Eh kamu dimana? Kita udah di KFC Sudirman ini. Buruan kesini, udah mau siang ntar keburu panas ke stasiunnya” Celotehnya saat itu
        “Eh iya bawel. Ini bentar lagi juga berangkat. Mau mandi dulu, sebentar.” Timpal ku
         “Buruannnn!!! Enggak pakai lama!! Enggak mau tau setengah jam lagi kamu harus udah ada disini!!” Ujarnya
         “Kalau kamu ngomong mulu kapan aku mandinya?” Aku mulai geram pada saat itu
          “Heemmmm.. Wassalamu’alaikum”
          “Wa’alaikumsalam” Kata ku untuk mengakhiri obrolan via telpon
          Setelah selesai menyiapkan segala keperluan , aku bergegas menuju ke KFC Sudirman. Motor yang aku dan Lisha kendarai melaju begitu pesat. Angin pagi masih sangat terasa sekali, merasuk kedalam tubuh ku. Sesampainya disana, seperti biasa. Tidak ada yang berubah dari tempat itu. Aroma kopi dan greentea latte yang khas mewarnai semua sudut ruangan. Aroma dark coklat juga sangat terasa saat aku mulai mendekati meja tempat Gilar dan Aziz menunggu.
          “Jam berapa ini?” Tanya Gilar sambil menengok kearah jam diding yang tepat berasa diatas kaca.
           “Maaf tadi aku lupa seriusan deh.” Kata ku
           “Tau nih si Arum, aku nyamperin kerumahnya eh belum apa-apa. Nyebelin kan” Timpal Lisha yang terlihat geram kepada ku
           “Makanya, jadi orang jangan pelupa. Masih 16tahun kok pelupa” Ujar Aziz sambil menyeruput dark coklat yang masih panas itu. Aromanya sangat menusuk hidung.
          “Laper nih. Breakfast yang enak disini apaan sih?” Tanya Lisha
          “Semua enak, apalagi kalau ada yang mau bayarin alias gratis” Canda Gilar saat itu
          “Banyak banyol. Nenek –nenek lagi nyebrang juga tau kali” Kata Aziz
       Entah kenapa hari itu aku sangat bersemangat. Aku memiliki semangat seperti kuda troya yang berada dipacuan kuda. Suasana di restaurant pagi itu tidak begitu ramai. Waktu menunjukan pukul 06.00WIB. Biasanya, para pengunjung yang kebanyakan anak muda, akan memadati tempat tongkrongan macam itu selepas berolahraga di daerah UGM. Sambil menunggu matahari meninggi atau sekedar bertemu dengan teman dan kerabat dekat. Aku dan Lisha menghampiri meja kasir untuk memesan makanan yang akan kami jadikan bekal untuk travelling nanti. Aku dan Lisha mencari posisi yang kira-kira tidak banyak antriannya oleh pengunjung.
        “Selamat pagi kak. Mau pesan apa?” Tanya pegawai warung cepat saji itu
         “Mampus. Pagi-pagi udah dikasih selamat pagi” Bisik Lisha kepada ku dengan tawa yang sedikit ditahan.
         “Berisik deh” Timpal ku
         “ Emmm aku mau hot tea, terus mau riser. Tapi untuk risernya take away aja ya” Kata Lisha
          “Aku juga mau hot tea dong, sama pom-pomnya satu ya mbak. Take away juga untuk pom-pomnya” Timpal ku.
          “Bisa saya ulangi? Hot tea dua, minum sini. Pom-pom satu, riser satu, take away ya kak. Sudah benar pesanannya?”
          “Iya mbak” Kata ku sambil menyerahkan beberapa uang yang aku letakan diatas meja kasir itu.
           “Mohon ditunggu. Nanti pesanannya segera kami antar” Katanya, sambil memberikan senyum yang lebar kepada aku dan Lisha
         Aku dan Lisha kembali ke tempat dimana Gilar dan Aziz menunggu. Terlihat Gilar sedang sibuk memaikan ponselnya. Tak lama kemudian pesananku dan Lisha diantar. Tanpa menunggu, aku langsung menyeruput segelas hot tea tanpa gula itu. Awalnya masih terasa panas di lidah. Tapi itu terasa nikmat, aroma hot tea di restaurant cepat saji itu memang begitu khas. Aku meletaklan kembali secangkir hot tea itu ke meja. Aku segera memulai obrolan kembali.
       “Eh gimana nih? Mau berangkat jam berapa kita? Ntar keburu siang” Tanya ku
       “Disini sih jadwal kereta paling awal jam 08.30WIB. Dari stasiun lempuyangan, perhentian akhir di stasiun balapan, gimana? Mau ambil jadwal yang paling awal?” Tanya Gilar, sambil menunjukan jadwal keberangkatan kereta api pagi itu.
        “Kalau aku sih mending berangkat paling awal biar kita bisa lama disana. Gimana?” Tanya Lisha sambil menatap ku
        “Kalau Raisa sih yes, kalau mas Anang gimana?” Canda ku pagi itu
         “Aku sih yes” Timpal Aziz, bergaya mengikuti Anang Hermansyah
         “Bercanda aja mulu, sampai ladang gandum di hujani coklat lalu jadi lah coco crunch”  Geram Gilar saat itu
         “Ih gemes deh, berantem yuk di rawa-rawa” Timpal Lisha membalas candaan dari Gilar
         “Eh buruan kampret. Mau yang jam berapa” Tanya Gilar mulai geram
       “Nih ya aku kasih tau, kemarin tetangga aku ada yang stroke gara-gara pas temennya bercanda dia malah marah-marah sendiri” Bisik ku kepada Gilar pagi itu
        “Bodo amat! Jam berapa nih?” Kata Gilar
         “Yaudah yuk sekarang aja kita berangkat ke stasiun” Kata Aziz
         “Yuk cus” Kata Lisha sambil menenteng tasnya
         Seperti biasa, aku berboncengan dengan Lisha, dan Gilar dengan Aziz. Lisha mengendarai motornya begitu pesat mengingat pagi itu jalan raya masih sepi di lalui kendaraan bermotor. Beberapa saat kemudian sampailah di stasiun lempuyangan, yang jaraknya tak begitu jauh dari tempat kami berangkat tadi. Sesampainya di stasiun aku dan Gilar langsung menuju loket, sembari menunggu Lisha dan Aziz memarkir motornya masing-masing. Gilar nampak terlihat serius melihat papan yang tergantung diatas loket. Papan itu adalah jadwal-jadwal keberangkatan kereta api pada saat itu.
           “Ehh kita jadi mau naik kereta api apa? Jangan yang non AC sumpek” Kata Lisha sambil menepuk bahu ku dari sisi kanan
          “Tau tuh tanya Gilar aja deh” Jawab ku sibuk memainkan telpon genggam
           “Gimana kalau kita buat tantangan? Biar travelling kita anti mainstream.” Tanya Gilar dengan senyum sinisnya
             “Wahh mulai ini anak. Enggak!!! Pasti kamu bikin ide gila lagi” Jawab ku dengan cetus
              “Ah enggak asik. Kita harus buat perjanjian selama travelling. Sekarang kalian pada bawa duit berapa?” Tanya gilar masih dengan senyum sinisnya
             “Ih mau ngapain nanya-nanya?” Tanya ku dengan penasaran
            “Aku bawa lima ratus ribu” Jawab Lisha tanpa memikirkan panjang apa maksud Gilar
            “Aku Cuma bawa tiga ratus ribu” Timpal Aziz sambil menghitung lembar demi lembar uang yang tertata rapi di dalam dompet
             “Aku bawa enam ratus ribu, kamu Rum? Tinggal kamu yang belum jawab” Tanya Gilar sambil menatap ku seolah ingin meyakinkan ku untuk menjawab pertanyaan bodohnya
             “Aku ada empat ratus lima puluh, kenapa?”Tanya ku kembali dengan sinis
            “Gimana kalau kita bikin tantangan gitu. Yang pertama, kita cuma boleh bawa uang dua ratus lima puluh, enggak ada yang boleh transaksi pakai atm. Yang kedua, di Solo nanti kita enggak ada yang boleh ngomong alay sedikit pun. Yang ketiga, kita enggak boleh naik kendaraan yang ber AC kecuali kereta yang mau kita naikin. Yang keempat, kita harus menyapa setiap tukang becak yang becaknya warna biru tua. Deal?” Gilar dengan mudahnya member beberapa peraturan.
       “Dua ratus lima puluh tanpa atm mana cukup? Kita pulang pergi udah berapa sendiri, belum nanti makan.” Celoteh Lisha nampak kesal dan mengertukan keningnya
        “Anjir ini mau travelling atau mau minang anak orang banyak amat peraturannya.” Timpal Aziz juga nampak kesal kepada Gilar
      “Tunggu-tunggu. Menurut ku itu seru juga. Oke aku setuju! Uangnya kita kumpulin ke Gilar. Tapi Gilar enggak boleh pakai duitnya. Gimana? Ziz, Lish ayo lah!” Bujuk ku kepada Aziz dan Lisha
       
      “Oke deh” Jawab Lisha dan Aziz dengan serentak
      Setelah menyetujui peraturan yang Gilar buat. Aku, Gilar, Lisha, dan Aziz bergegas untuk memesan tiket kereta. Mungkin, perjalanan itu menjadi perjalanan yang mengesankan, dimana aku pergi keluar kota tidak bersama kedua orang tua ku, melainkan dengan sahabat-sahabat ku. Aku bahagia hari itu, bahkan aku merasa seperti bunga yang kembali mekar. Aku dan  sahabat-sahabat ku mulai mengantri untuk memasuki stasiun kereta. Kereta kami akan tiba lima belas menit lagi.
      “Kalian tau baru kali ini aku mempunyai sahabat seperti kalian, aku bahagia” Lisha menggunakan bahasa wajah untuk mengungkapkan apa yang dirasakan saat itu
         “Hari ini adalah milik kita! Letakan lah sejenak beban yang kita pikul selama ini, kita akan tetap terus seperti ini. Kita akan tetap terus bersahabat, bagaimana pun nanti, apapun yang akan terjadi. Aku mohon jangan pernah melepaskan simpul yang mengikat diantara kita” Gilar membalikan badannya memasang senyum terbaiknya untuk sahabat-sahabatnya yang dicintai
          “Fix!! Aku bahagia mempunyai kalian, kalian bukan hanya sahabat, kalian sudah seperti saudara, Sudah seperti kakak-kakak aku” Aku pun membalas dengan senyuman terbaik ku saat itu, aku sedikit terharu. Aku terharu dengan kata-kata yang Gilar ungkapkan. Gilar, biasa dikenal oleh orang mempunyai pribadi sangat keras, dan sulit untuk mengungkapkan kata seromantis itu. Tapi hari itu Gilar menjadi pribadi yang sedikit berbeda.
        Aziz hanya bisa menatap lurus kedepan ke gerbong-gerbong kereta yang sudah tak beroprasi itu, Aziz tak mampu berkata-kata. Aziz terkejut tiba-tiba saja Gilar bisa menjadi sesosok yang benar-benar pantas untuk di kagumi. Jika boleh aku menganalisa hatinya, sejujurnya Aziz bahagia saat itu. Bagi Aziz, Gilar adalah sosok sahabat yang menyenangkan. Dekat dengan Gilar bisa membuat Aziz tertawa lepas, begitu juga dengan aku dan Lisha. Tak lama kemudian kereta menuju solo balapan tiba di stasiun lempuyangan. Kereta pagi itu sedikit terlambat sepuluh menit dari jadwal yang sebenarnya. Aku mengambil posisi paling depan untuk memasuki kereta yang sebentar lagi berhenti tempat dimana aku menunggu. Kemudian di ikuti oleh Lisha, Gilar, dan Aziz. Setelah memasuki kereta Lisha berjalan mendahului ku, Lisha mulai memandang sekelilingnya, Lisha sibuk mencari seat tempat duduk yang sudah terterai dalam tiket. Tempat itu makin lama makin padat karena tidak hanya Aku, Lisha, Gilar dan Aziz yang akan menaiki kereta itu. Lisha menarik tangan kiri ku dengan kuat.
           “Itu disana, disini ditulis nomor 1A, 2A, 3A, dan 4A” Kata Lisha sambil menunjuk empat bangku yang ada di sudut gerbong nomor satu tersebut dengan tangan kanannya,
           “Coba liat?” Tanya Gilar, mengabil tiket yang sebelumnya ada di tangan Lisha
           “Oh iya bener,” Timpalnya kembali
           “Aku deket jendela!” Seru ku saat itu, sambil berjalan cepat agar lebih dulu sampai dibanding yang lainnya
           “Eh aku juga!” Ujar Lisha dengan wajah tampak berseri dan sepertinya Lisha memiliki semangat yang sudah jarang aku lihat akhir-akhir ini.
            Gilar dan Aziz kemudian menyusul ku dan Lisha. Gilar dan Aziz mulai menyandarkan punggungnya ke kursi berwarna coklat muda itu. Aziz nampak melepas jaket yang dikenakan. Aku dan Lisha nampak sibuk melihat kearah luar jendela. Banyak hamparan sawah, seperti membentuk sebuah kesatuan, lukisan alam yang benar-benar indah dari sang maha pencipta. Aku banyak menemui rumah-rumah penduduk, banyak anak kecil yang bermain dipinggir rel kereta api tanpa menghiraukan bahaya yang sedang mengintai.
          “Coba deh lihat pohon-pohon itu” Kata ku kepada sahabat-sahabat ku
          “Indah” Timpal ku lagi
           “Itu sudah menjadi takdir alam, lukisan yang terindah” Jawab Aziz dengan tampang datarnya
          “Iya sama seperti hidup ini yang berisi rangkaian takdir yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Seperti pohon yang kita lihat tadi, yang memiliki banyak daun dan ranting. Kalian tau? Bahwa antara satu ranting dengan ranting yang lainnya saling berhubungan. Ada yang bercabang kearah kanan, ada juga yang kearah kiri, ada yang tinggi menjulang, dan… ada juga yang tertunduk kebawah. Setiap ranting memiliki dedaunan yang tumbuh sendiri-sendiri, tapi secara otomatis membuat rangkaian yang menakjubkan” Jelas ku sambil terus melihat ke luar jendela, sambil tersenyum kagum
           “Ya, itu artinya setiap manusia akan terkait dengan takdir manusia yang lain, begitu juga seperti persahabatan kita yang saling terkait satu sama lain.” Ungkap Gilar sambil menyandarkan kepalanya di bahu ku
           “Lisha terharu!!!” ujar Lisha dengan sedikit senyum di bibir kecilnya
            “Sama halnya seperti kursi yang kalian duduki saat ini, kursi ini juga memiliki kesatuan, memiliki empat tiang penyangga, coba kalian bayangkan jika kursi ini hanya memiliki tiga penyangga. Jangan kan untuk menopang beban diatasnya, sekedar untuk berdiri kokoh aja aku rasa tidak mampu” Jelas Aziz dengan tatapan tajam, seolah ada banyak kata yang ingin di ungkapkannya
           “Iya, kita itu berempat! Kalau ada satu yang hilang kita enggak akan bisa menopang beban hidup yang sedang kita jalani. Kita adalah satu kesatuan layaknya pohon, dan kursi.” Jelas ku sambil menatap satu persatu sahabat ku
        Tak terasa bahwa kereta sebentar lagi akan memasuki perhentian terakhir yaitu di stasiun balapan tepat berada di kota Solo. Semua penumpang tampak bergegas untuk membereskan semua barang-barangnya. Kereta pun berhenti, sedikit terlambat memang. Tetapi, tidak apa-apa si roda besi berhasil itu tiba dengan mulus di bangunan tua yang sudah lama berdiri kokoh yang di beri nama stasiun
          “Gilar, ayoo ke Grand Mall!!!” Ujar Lisha nampak menarik tangan Gilar
          “Ohhh jadi Gilar doang nih yang di ajak?” Tanya ku sambil melipat kedua tangan ku di dada
         “Ihhh enggak gitu.. Maksud aku kita semua” Jawab Lisha lalu menarik tangan kanan ku
         “Bentar kenapa cong, mau minum dulu” Ungkap Gilar sambil mengeluarkan sebotol air mineral dari tasnya, lalu meneguknya sedikit demi sedikit
          “Kalian tau air ini seperti persahabatan kita,” Timpal Gilar kembali
           “Lho kok bisa kenapa? Air putih cair, ringan, tak berasa dan tak berwarna. Hampa!” Ujar Aziz kepada Gilar, lalu mengambil botol air mineral yang ada di tangan Gilar
            “Benar kata mu, air ini memang tak berasa. Tapi, kamu tidak pernah bosan kan buat meminumnya? Air yang kamu minum saat kamu kepanasan, saat kamu kehausan, bahkan saat kamu kedinginan kamu masih membutuhkan air kan? Tak berasa memang. Tapi, jika kamu menginginkan air itu berasa manis kamu tinggal menambahkan sedikit gula, jika kamu menginginkan rasanya asin kamu tinggal menambahkan garam di dalamnya. Air yang membantu mu untuk minum obat, air juga yang membantu mu tetap hidup. Seperti itu lah persahabatan kita” Jelas Gilar, sambil mencari becak yang ada di sekitar stasiun untuk menuju ke Grand Mall yang jaraknya tak begitu jauh dari stasiun
            “Eh itu ada becak! Warna biru pula, sesuai perjanjian awal kita harus menyapa!” Ujar Lisha sambil menunjuk kearah utara
             “Oke! Kita kesana sekarang!” Ujar Gilar sambil mengenakan kacamata hitam yang tadinya Gilar letakkan diatas kepalanya
             “Berasa turis kali pak. Ha Ha Ha” Canda ku kepada Gilar
             “Langit Solo panas ya, sama kaya pas aku lihat dia boncengan sama pacar barunya. Bawaannya pengen beli kipas angin” Canda Gilar, sambil melepas jaket yang tadinya di kenakan
              “Anjir deh, hari gini masih galau mikirin cinta. Kelaut aja sana” Balas ku, lalu berjalan mendahului yang lainnya
              “Monggo pak, Pak Grand Mall dari sini berapa ya?” Tanya Aziz kepada tukang becak
               “Monggo bapak” Sapa ku dan Lisha kala itu
               “Lima belas ribu mas, becak kalih nggeh?” Tanya tukang becak kepada Aziz kala itu, Aziz tampak berunding kecil dengan Gilar, sedangkan aku dan Lisha sibuk memainkan handphone masing-masing
                “Nggeh pak, Rum kamu sama aku. Takutnya kalau sama Aziz bapaknya nggak kuat” Kata Gilar, lalu menaiki becak mendahului ku, aku pun hanya mengangguk dan duduk di sebelah Gilar. Lisha dan Aziz menaiki becak yang berbeda dengan aku dan Gilar.
           Becak yang aku naiki dengan Gilar pun mulai melaju, di susul becak yang di naiki oleh Aziz dan Lisha. Langit solo siang itu begitu terik, matahari yang mulai berada diatas kepala tak menyurutkan semangat ku. Jalan yang di lewati pun nampak mulai ramai mengingat waktu itu memasuki jam makan siang. Solo, sebuah kota kecil yang akan menjadi kota kenangan bersama sahabat-sahabat terhebat ku, disini akan banyak menyimpan cerita di setiap sudutnya. Aku yakin, aku akan kembali lagi ke kota kenangan itu bersama sahabat-sahabat ku kelak. Nanti, setelah kesuksesan ada di genggaman tangan. Setelah sampai, aku dan sahabat-sahabat ku bergegas masuk ke pusat perbelanjaan yang sangat terkenal di kota itu. Saat memasuki ruangan, terasa sekali aroma khas pusat perbelanjaan, tidak ada yang berbeda dengan pusat perbelanjaan lainnya, banyak ku temui ornamen yang tersusun rapi di dinding-dinding, seolah memanjakan siapapun yang melihatnya. Aroma coffee dari toko kue yang khas menyelimuti siang itu.
         “Aku laper!” Ujar Aziz sambil melingkarkan tangannya ke bahu Gilar
         “Ah kamu ma makan mulu yang di pikirin” Canda Gilar lalu melepaskan rangkulan Aziz
         “Mau makan apa?” Tanya ku, aku menoleh kearah Aziz sejenak, lantas kembali menatap kesibukan orang-orang di depan ku.
          “Hey, let me see. It’s looks nice!” Tiba-tiba Lisha menarik ku dan menunjukan sesuatu yang tergantung rapi di toko kemeja itu
           “Kemeja? Yang mana?” Tanya ku
           “Yaps, Pink! My favorite colour.” Jawab Lisha dengan nada manja
           “Do you like this?” Tanya ku kembali, sambil menatap Lisha
            “Iyaaaa… Ini lucuuu!!” Ujar Lisha, dengan terus memandangi kemeja berwarna pink dengan sedikit hiasan bunga-bunga di daerah saku kanan atas.
            “Samaaaa!!!” Timpal ku lagi dengan antusias
            “Lisha, Arum, tujuan kita disini bukan mau belanja!” Ujar Gilar ketus, lalu menarik tangan ku dan Lisha untuk segera meninggalkan toko kemeja itu
             “Yahhhhh Gilar” Jawab ku dengan nada lirih, dengan sedikit mengertukan otot di kening
          Aku dan teman-teman ku menuju lantai tiga gedung ini, dimana banyak orang menjajakan berbagai macam makanan khas nusantara. Aku dan teman-teman ku menuju ke tangga berjalan yang ada di sudut pusat keramaian itu. Sesampainya ditempat yang sering di sebut foodcurt itu, aku dan teman-teman lalu memesan sejumlah makanan untuk dijadikan santap siang. Aku dan Lisha memilih nasi goreng seafood, sudah dari beberapa hari lalu aku menginginkannya. Sedangkan Gilar dan Aziz memesan nasi lemak lengkap dengan potongan telur dadar yang diiris tipis-titpis, tak lupa taburan bawa goreng. Aku dan teman-teman ku duduk di meja dekat dengan tangga berjalan. Aku menarik napas panjang. Menikmati kesibukan yang terhampar dibawah sana, dari lantai tiga. Meski jam makan siang hampir usai, sepertinya pusat perbelanjaan ini tidak peduli. Lalu lalang dan aktivitas masih saja terlihat ketara. Semua bergerak. Aku melahap santap siang ku, sambil menatap nanar ada di handphone ku.
         “Habis ini kita ke kraton, lalu ke pasar klewer kan?” Tanya Lisha, menatap ku
         “Iya.” Jawab ku, sambil meminum jus strawberry yang ada di hadapan ku
         “Yaudah, buruan habisin makanannya” Jelas Gilar sambil memaikan tombol buttom yang ada di kamera SLR miliknya, Gilar nampak mengatur sedemikian rupa, sesekali Gilar mengarahkan lensanya kepada orang-orang yang lalu lalang di bawah sana.
          “Aku udah selesai kok” Jawab ku kembali, dengan sedikit menyemprotkan handsanitaizer ke telapak tangan ku
          “Aku juga” Tambah Lisha
          “Bentar-bentar” Kata Gilar, terlihat merapikan kamera dan lensa mono yang dibawa dari rumah.
           “Habis ini kita ke kraton, ke pasar klewer, terus ke…..” Jelas Lisha, dengan memainkan jarinya.
            “Lalu, makan terus pulang” Timpal Aziz dengan sedikit senyum di bibirnya
         Aku, Lisha, Gilar, dan Aziz mulai menuruni escalator yang ada di pusat perbelanjaan itu. Terlihat begitu jelas lalu lalang dibawah sana, seolah tak pernah ada matinya. Orang-orang dibawah sana sibuk dengan perannya masing-masing. Aku, Lisha, Gilar, dan Aziz mulai beranjak keluar dari pusat keramaian itu. Aku dan teman-teman ku menaiki becak untuk menuju kraton Solo, letaknya tak begitu jauh. Aku menyenderkan tubuh  pada punggung kursi. Mata ku seolah tidak pernah bosan untuk memperhatikan setiap jalan yang di lalui. Aku membiarkan semilir angin membasuh wajah dan tubuh ku. Menikmati belaian lembut ditemani dengan lagu-lagu jazz yang aku dengarkan melalui ponsel ku. I miss this part.
      Lalu Gilar mengangkat kameranya, menekan menu buttoms. Mengatur agar semua gambar yang akan diambil nanti tanpa warna. Hanya hitam dan putih. Gilar mengarahkan lensanya ke atas, tepat pada awan kecil yang berbentuk bunga yang bergerak mengikuti arah angin, beriringan menemani semburat senja yang aku dan Gilar nikmati saat itu.
      Gilar mengalihkan lensanya kearah jantung kota. Becak-becak yang berjejeran seolah semakin memperindah kota itu. Gedung-gedung tua yang sudah terbengkalai menyelimuti kota. Kendaraan-kendaraan yang lalu lalang saat itu. Semua. Semua tak luput dari jepretan Gilar. Aku menyukai hal ini, aku merasa saat itu aku telah menemukan dunia ku sendiri. Dunia dari sudut pandang ku sendiri.Sesampainya di kraton Solo, aku dan teman-teman bergegas untuk melihat-lihat sekitar. Nampak bangunan-bangunan kuno yang masih dirawat. Aku merasa senang saat itu. Aku merasa, aku sedang menari diatas awan. Ditemani senja, aku dan teman-teman ku menyusuri jalan kota itu dengan penuh tawa. Mata lensa seolah tak pernah berhenti mengambil objek di depannya.
       “Aku mau di fotoin disini dong, sama Arum” Pinta Lisha kepada Gilar saat itu, Lisha tampak merangkul ku.
       “Aku juga dong Lar!” Ujar Aziz sambil merapikan rambutnya yang tadinya berantakan
      “Yuk kita foto bareng-bareng aja” Ajak Gilar, mengarahkan mata lensanya ke wajahnya yang nampak berseri saat itu.
       “Bangunan-bangunan ini kokoh, masih sangat terawat” Kata ku sambil memandangi tembok benteng yang berdiri kokoh di pinggir jalan menuju arah  pasar klewer itu
       “Iya lah, emang hati kamu. Rapuh dan tak terawat” Canda Gilar kepada ku
       “Ihhhhh… Apaan sih Gilaaaaarrrrr!!!!” Sontak aku merasa geram dengan ejekan yang dilontarkan Gilar kepada ku saat itu
           Langit kota Solo telah berubah menjadi jingga. Matahari pun mulai tenggelam. Aku dan teman-teman mulai bergegas meninggalkan tempat itu, karena mengingat hari sudah mulai gelap. Aku dan teman-teman melanjutkan langkah demi langkah menyusuri langit kota Solo di kala gelap. Aku dan-teman-teman bergegas mencari warung makan. Kali itu aku dan teman-teman menuju sebuah warung kaki lima yang menjual nasi liwet, makanan khas Solo selain serabi yang sudah terkenal itu. Bahu jalan yang tadinya masih sepi kini sudah mulai terisi dengan tenda-tenda kecil yang berdiri tepat di bahu jalan. Aroma yang khas menyelimuti saat itu, mengingat perut yang sudah mulai kroncongan
       “Makan sini aja yuk” Ajak ku, menunjuk kearah tenda berwarna biru itu
       “Yaudah yuk, lesehan gitu kayanya asik” Ujar Lisha saat itu dengan wajah yang tak henti-hentinya menebar senyum
        “Gila ini romantis banget, makan dipinggir jalan di temani alunan-alunan musik dari pengamen jalanan” Jelas Aziz
        Aku ingin tersenyum, menertawakan kolerasi lucu yang Aziz katakan, saat ku lihat matanya menatap ku seolah mengajak ku tersenyum. Setengah mati aku menahannya. Jadi hanya mengangguk-angguk saja yang bisa ku lakukan saat menghargainya. Lisha pun memulai dengan mengambil sebuah piring dari bambu yang di dasari daun pisang itu. Aku dan teman-teman ku memilih duduk di sebelah tenda dengan menggelar tikar. Aku menyukai tempat ini. Sebuah warung kaki lima yang tidak terlalu besar, terletak di jalan Slamet Riyadi. Aku menghabiskan santap malam dengan lahap, begitu juga teman-teman ku. Sang musisi jalanan tak henti-hentinya memetik gitar yang sudah cukup usang itu. Alunannya begitu indah, notasi-notasi yang di main kan juga begitu syahdu di dengar, dentungan-dentungan cajon menambah suasana menjadi lebih syahdu malam itu.
      “Kalian tau nggak aku bahagia banget hari ini” Jelas Lisha
      “Bahagia kenapa?” Tanya ku, sambil sesekali melihat nanar di handphone ku
      “Banyak” Timpalnya kembali
      “Kalian tau nggak kenapa aku buat perjanjian di awal?” Tanya Gilar
       “Kenapa?” Tanya ku kembali dengan sedikit mengerutkan alis ku
      “Yang pertama, kita nggak boleh bawa uang lebih dari dua ratus lima puluh ribu, karena aku pengen kita enggak boros disini. Yang kedua kita enggak boleh ngomong alay, kenapa? Karena dimana pun kita berada kita harus tetap menjaga etika ketika berbicara. Yang ketiga, enggak boleh naik kendaraan ber-AC, tau enggak kenapa?” Kata Gilar, sambil menyeruput teh hangat yang ada di depannya
      “Karena kita harus dituntut menjadi orang yang low profile dalam arti sederhana?” Timpal ku
      “Yap betul! Dan yang keempat, kita harus menyapa setiap tukang becak, yang becaknya berwarna biru, tau nggak kenapa?” Tanya Gilar kembali, aku hanya menggelengkan kepala
       “Sebenernya enggak harus becak berwarna biru, kalau bisa semuanya. Biar kita tau sopan santun, kita disini pelancong, dan ini masih di jawa dimana penduduknya di kenal ramah-ramah. Bukannya sesame manusia kita harus saling bertegur sapa?” Timpal Gilar kembali
       “Subhanallah Gilar, ternyata si playboy satu ini kali ini bener-bener udah waras otaknya” Canda Aziz, sambil menatap Gilar dengan sedikit senyum karena menahan tawa
       “Gila aku enggak kepikiran sampai situ” Kata Lisha saat itu
      “Iya karena yang ada di otak kamu cuma pacaran!!!” Ujar aku dan Aziz dengan serentak
      “Ihhhh apa coba!! Enggak tau!” Lisha nampak geram sehingga mencubit lengan kanan Aziz
      “Mas-mas, request lagunya Sheila on seven dong yang sahabat sejati versi akustik” Gilar nampak melambaikan tangannya kepada musisi jalanan saat itu. Sang musisi jalanan lantas mengangguk pertanda akan mengabulkan permintaan dari Gilar. Dan Gilar bergegas berdiri untuk ikut bernyanyi.
      “Sahabat sejati ku hilangkan dari ingatan mu
        Di hari kita saling berbagi
        Dengan kotak sejuta mimpi aku datang menghapiri mu, tuk perlihatkan semua harta ku
        Kita selalu berpendapat, kita ini yang terhebat
        Kesombongan di masa muda yang indah
        Aku rasa kau pun raja, aku hitam kau pun hitam
         Arti teman lebih dari sekedar materi” Gilar mulai memperlihatkan kemampuannya dalam bernyanyi. Aku, Aziz dan Lisha melanjutkan di reff dengan duduk di bahu jalan.
        Pegang pundak ku jangan pernah lepaskan, bila ku mulai lelah, lelah dan tak bersinar.
          Remas sayap ku jangan pernah lepaskan, bila ku ingin terbang,
           terbang meninggal kan mu
           Aku selalu membangga kan mu kau pun selalu menyanjung ku
           Aku dan kamu darah abadi…
          Demi bermain bersama, kita luangkan segalanya
           Tuk merdeka kita, kita merdeka” Lanjut ku, Lisha, dan Aziz dengan wajah penuh senyuman.
         Waktu sudah menunjukan pukul 18.30WIB, waktunya aku dan tema-teman ku kembali ke stasiun untuk pulang ke Jogja. Sesampainya di stasiun, tawa tak henti-hentinya mengalir dari aku dan teman-teman ku. Seperti biasa, aku memilih duduk di dekat jendela, tapi kali itu aku duduk bersama Lisha. Aku nampak menghela napas panjang, dan mulai menyenderkan kepala ku ke bahu Lisha. Aku melihat Aziz dan Gilar nampak kelelahan, tapi aku masih bisa melihat kebahagiaan di raut wajah Gilar dan Aziz. Tak lama kemudia Gilar nampak tertidur pulas, dengan posisi duduk, tangannya memegang erat tiket kereta api kala itu. Aku masih sibuk dengan novel di genggaman ku, sedangkan Lisha sibuk memainkan handphonenya.
       “Kok kamu suka banget sih baca buku?” Tanya Aziz, dengan mata yang sedikit sayu
       “Buku kan jendela dunia” Jawab ku dengan melirik kearah Aziz
       “Ini itu udah malem, enggak baik jendela di buka malem-malem gini takut nyamuk pada masuk” Canda Aziz
       “Itu beda woy!!” Ujar ku dengan nada sedikit keras
       “Santai aja kali enggak usah teriak gitu ah” Kata Lisha melirik kea rah ku
       “Kalian tau, aku seneng banget” Kata ku, sambil menutup novel yang berjudul sempurna karya dari Nonier itu
        “Aku juga, aku bangga memiliki sahabat yang hebat. Sahabat yang banyak mengajarkan hal. Sahabat yang mampu menemani ku saat aku sedang gusar. Sahabat yang benar-benar aku dambakan sejak dulu” Jelas Lisha dengan nada lirih, karena takut mengganggu tidur Gilar
       “Aku juga” Tambah Aziz
      Setelah beberapa saat kereta berhenti di stasiun lempuyangan. Aku membangunkan Gilar dengan sangat hati-hati. Gilar mulai membuka matanya dan sedikit menguap. Nampak sekali kelelahan di raut wajah Gilar. Aku dan teman-teman ku mulai keluar dari gerbong. Aku dan teman-teman ku menuju tempat parkir.
      “Eh makasih ya. Kalian memang sahabat terindah ku” Kata Gilar untuk menutup pertemuan hari itu
      “Sama-sama, lain kali kita travelling lagi kan?” Tanya Lisha
      “Iya pasti! Duluan ya hati-hati di jalan” Kata Aziz dan Gilar sambil melambaikan tanganya
      Aku tidak bisa berkata-kata. Aku hanya bisa tersenyum bahagia. Terkadang, untuk menggambarkan sebuah kebahagiaan tidak perlu dengan kata-kata cukup dengan tersenyum, kebahagiaan bisa saja menjadi bijak. Sejak itu, aku berpikir bahwa persahabatan tak selamanya bisa dinilai dengan sebuah materi. Tak selamanya bisa dinilai dengan tampan atau tidaknya sahabat yang kita miliki. Saat itu aku juga berpikir, bukan hanya menyukai seseorang yang menggunakan cinta, persahabatan pun juga menggunakan cinta untuk mempersatukan antara belahan hati satu dan yang lainnya. Aku bahagia Tuhan. Aku beruntung memiliki sahabat yang bisa mengajarkan aku banyak hal, hal-hal konyol yang belum pernah aku lakukan sebelumnya, hal-hal yang diluar pikiran ku sebelumnya. Ini hanya sebuah kisah klasik, kisah ku dengan sahabat-sahabat ku.

0 komentar:

Posting Komentar