Selamat malam teman, pagi tadi aku
bertemu seorang penyair jalanan yang membawakan sajak-sajak syair sangat indah.
Beliau seorang sastrawan Jogja, tanpa kedua kakinya beliau masih bisa
membacakan syair dari satu kiosk e kios yang lainnya hanya dengan kursi rodanya
yang telah usang, beliau berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mengais
koin demi koin.
Beliau tidak menghiraukan sinar sang
mentari yang terus meninggi, mengusap tetesan keringat dengan handuk putih kecil
yang tersampir di bahunya. Tanpa ada bantuan dari orang lain, beliau terus
memutar roda seperti saat beliau memutar roda kehidupan, beliau menyebut
dirinya sebagai sastrawan tetapi, mengapa beliau tidak dihargai di negri ini,
beliau di biarkan hidup tanpa kedua kakinya hanya dengan kursi roda
kesayangannya yang telah usang. Beliau tetap menggoreskan tinta pada
baris-baris kertas yang tersusun rapi. Kata demi kata tercipta begitu fasihnya
beliau membacakan syair ciptaanya dengan mimik wajah yang sangat tepat dengan
irama syairnya.
Baris demi baris beliau bacakan, tanpa
memperdulikan orang yang memperolok-olok beliau saat itu juga. Beliau bukan
hanya sastrawan menurut ku beliau juga sebagai pahlawan, di tengah kritisnya
bumi pertiwi ini dengan ilmu pengetahuan beliau tetap menggoreskan syair yang
indah agar generasinya mengetahui syair, tidak hanya mengetahui musik-musik
cadas, cerita-cerita cinta, dll. Tetapi juga mengetahui apa syair itu. Sayang
aku tidak mempunyai cuplikan video atau foto saat beliau membacakan. Tapi ini
ceritaku tentang sang penyair jalanan itu.
0 komentar:
Posting Komentar